Senin, 21 Februari 2011

Khotbah Present


TUGAS
EKONOMI TEKNIK TENTANG DEPRESIASI



DISUSUN OLEH :

Nama               : Dedi Fuadman Harita
NPM               : 30408252
Kelas               : 3ID02






JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2011

 

 

Konsep Penyusutan

Penyusutan (Depreciation) merupakan salah satu konsekwensi atas penggunaan aktiva tetap, dimana aktiva tetap akan mengalami ke-aus-an atau penurunan fungsi. Logika umum : Penyusutan (Depreciation) merupakan cadangan yang nantinya digunakan untuk membeli aktiva baru untuk menggantikan aktiva lama yang sudah tidak produktif lagi . Bandingkan dengan Logika Akuntansi : Penyusutan (Depreciation) adalah Harga Perolehan Aktiva Tetap yang di alokasikan ke dalam Harga Pokok Produksi atau Biaya Operasional akibat penggunaan aktiva tetap tersebut. atau ; Cost/Exepenses yang diperhitungkan (dibebankan) dalam Harga Pokok produksi atau biaya operasional akibat pengunaan aktiva di dalam proses produksi dan operasional perusahaan secara umum.
Pencatatan (Jurnal) Atas Penyusutan :
Bentuk Jurnalnya : [-Debit-]. Depreciation = xxxx [-Credit-]. Accumulated Depreciation = xxxx
 Saat pencatatan : Biasanya dicatat (dibukukan) pada saat penutupan buku (entah : akhir bulan, akhir kwartal, akhir tahun buku). Besar-nya : Dicatat sebesar nilai penyusutannya, tergantung berbagai faktor (lebih rincinya, lanjutkan ke sub pokok bahasan berikut ini…). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Biaya Penyusutan

1. Harga Perolehan (Acquisition Cost) Harga Perolehan adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap biaya penyusutan. Mengenai "Harga Perolehan" telah kita bahas secara rinci pada artikel sebelumnya, yang belum membaca, silahkan [-baca-]
2. Nilai Residu (Salvage Value) Merupakan taksiran nilai atau potensi arus kas masuk apabila aktiva tersebut dijual pada saat penarikan/penghentian (retirement) aktiva. Nilai residu tidak selalu ada, ada kalanya suatu aktiva tidak memiliki nilai residu karena aktiva tersebut tidak dijual pada masa penarikannya alias di jadikan besi tua, hingga habis terkorosi. Tentu saja ini tidak dianjurkan, alangkah bagusnya jika di daur ulang.
3. Umur Ekonomis Aktiva (Economical Life Time) Sebagian besar, aktiva tetap memiliki 2 jenis umur, yaitu :
Umur fisik : Umur yang dikaitkan dengan kondisi fisik suatu aktiva. Suatu aktiva dikatakan masih memiliki umur fisik apabila secara fisik aktiva tersebut masih dalam kondisi baik (walaupun mungkin sudah menurun fungsinya).
Umur Fungsional : Umur yang dikaitkan dengan kontribusi aktiva tersebut dalam penggunaanya. Suatu aktiva dikatakan masih memiliki umur fungsional apabila aktiva tersebut masih memberikan kontribusi bagi perusahaan. Walaupun secara fisik suatu aktiva masih dalam kondisi sangat baik, akan tetapi belum tentu masih memiliki umur fungsional. Bisa saja aktiva tersebut tidak difungsikan lagi akibat perubahan model atas produk yang dihasilkan, kondisi ini biasanya terjadi pada aktiva mesin atau peralatan yang dipergunakan untuk membuat suatu produk. Atau aktiva tersebut sudah tidak sesuai dengan jaman (not fashionable), kondisi ini biasanya terjadi pada jenis aktiva yang bersifat dekoratif (misalnya : furniture/mebeler, hiasan dinding, dsb).
Dalam penentuan beban penyusutan, yang dijadikan bahan perhitungan adalah umur fungsional yang biasa dikenal dengan umur ekonomis.
4. Pola Penggunaan Aktiva Pola penggunaan aktiva berpengaruh terhadap tingkat ke-aus-an aktiva, yang mana untuk mengakomodasi situasi ini biasanya dipergunakan metode penyusutan yang paling sesuai.
Metode-metode Penyusutan (Depreciation Method) Ada berbagai metode penyusutan, hanya beberapa metode saja yang biasa dipergunakan. Berikut adalah 2 metode penyusutan yang paling banyak dipergunakan, karena paling mudah dan paling relevan dengan perlakuan akuntansi. Metode Garis Lurus (Straight Line Method) Konsep dasarnya : Metode ini menganggap aktiva tetap akan memberikan kontribusi yang merata (tanpa fluktuasi) disepanjang masa penggunaannya, sehingga aktiva tetap akan mengalami tingkat penurunan fungsi yang sama dari periode ke periode hingga aktiva diarik dari penggunaannya. Metode ini termasuk yang paling luas dipakai. Untuk penerapan “Matching Cost Principle”, metode garis lurus dipergunakan untuk menyusutkan aktiva-aktiva yang fungsionalnya tidak terpengaruh oleh besar kecilnya volume produk/jasa yang dihasilkan. Misalnya : bangunan, peralatan kantor.
Formula : Atau dengan menggunakan rate prosentase, dengan formula : Contoh Kasus : Sebuah mesin diperoleh pada tanggal 1 Januari 2007 dengan harga Rp 8,000,000 ditaksir memiliki umur ekonomis 8 tahun, dan apabila nanti ditarik diperkirakan besi tuanya dapat dijual seharga Rp 150,000. Tambahan informasi : Perusahaan menggunakan metode garis lurus. Beban penyusutan untuk tahun 2007, dihitungan dengan cara : Depreciation Cost = 12/12 x [(Rp 8,000,000–150,000) : 8] = Rp 981,250, Jika aktiva tetap tersebut diperoleh pada tanggal 05 Pebruari 2007, maka dihitung dengan cara = 11/12 x [(Rp 8,000,000 – 150,000) : 8] Jika diperoleh pada tanggal 20 Pebruari 2007, maka dihitung 10/12 x [(Rp 8,000,000 – 150,000) : 8] dan seterusnya. Jika tanpa nilai residu, maka variable nilai residu tidak diperhitungkan (lihat formula di atas). Atas pembebanan penyusutan ini dicatat sebagai berikut : [-Debit-]. Depreciation = Rp 981,250,- [-Credit-]. Accumulated Depreciation = Rp 981,250,-
Jika aktiva tersebut diperoleh di awal tahun (01~14 Januari), maka tabel “Jadwal Penyusutan Aktiva ” selama umur ekonomisnya, akan menjadi sebagai berikut :
Bandingkan kedua tabel di atas : Bagian mana yang berbeda ?. Pada tabel pertama (dengan memperkirakan adanya salvage value), di akhir tahun ke-8, terlihat masih ada NILAI BUKU (Book Value) aktiva sebesar Rp 150,000, INILAH YANG DISEBUT NILAI RESIDU (Salvage Value) dimana jika aktiva tersebut dijual pada akhir penggunaannya nanti diperkirakan akan laku seharga Rp 150,000,-. Di sisi lainnya, biaya penyusutan yang dibebankan tidak sepenuhnya Rp 1,000,000 per tahunnya. Pada tabel kedua (dengan tidak memperkirakan adanya salvage value), pada akhir tahun ke-8, NILAI BUKU (Book Value) benar-benar Nihil (nol), artinya : perusahaan memperkirakan aktiva tersebut tidak akan menghasilkan arus kas (tidak bisa dijual) pada akhir masa penggunaannya nanti. Di sisi lain, penyusutan dibebankan sepenuhnya Rp 1,000,000 setiap tahunnya. Metode Saldo Menurun (Declining Balance Method) Konsep Dasarnya : Aktiva tetap dianggap akan memberikan kontribusi terbesar pada periode diawal-awal masa penggunaanya, dan akan mengalami tingkat penurunan fungsi yang semakin besar di periode berikutnya seiring dengan semakinv berkurangnya umur ekonomis atas aktiva tersebut. Metode ini sesuai jika dipergunakan untuk jenis aktiva tetap yang tingkat kehausannya tergantung dari volume produk yang dihasilkan, yaitu jenis aktiva mesin produksi. Formula :
Contoh Kasus : Mempergunakan contoh kasus sebelumnya. Cari "rate penyusutan (d%)" terlebih dahulu, perhatikan perhitungan dibawah :
Dengan menggunakan rate di atas, yaitu sebesar 39%, “Jadwal Penyusutan” menggunakan Declining Balance Method dapat dibuat, seperti dibawah : Memperhatikan table di atas, dapat dilihat bahwa dengan menggunakan Metode Saldo menurun (Declining Balance Method), salvage value di akhir tahun ke delapanpun hasilnya kurang lebih sama dengan jika menggunakan Metode Garis Lurus (Straight Line Method) yaitu Rp 150,000. Hanya saja, jika kita perhatikan pada kolom “Depreciation (penyusutan) nampak bahwa dengan menggunakan metode Saldo Menurun, harga perolehan yang dialokasikan ke dalam penyusutan (dibebankan pada Harga Pokok Penjualan) dialokasikan sebagian besar pada awal-awal penggunaan aktiva tersebut. Hal ini didasari oleh konsep yang dianut oleh metode ini, dimana suatu aktiva (khusunya mesin produksi) dianggap memberikan best performance diawal-awal penggunaannya.























PROPOSAL
PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BIOETANOL BERBASIS SORGUM
SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN
(Kebun Sorgum – Pabrik Bioetanol – Pabrik Tepung Sorgum – Pabrik Pulp – Penggemukan Sapi – Biogas – Pupuk Organik)
Supriyanto dan Bambang Purnomo
PENDAHULUAN
Ada kekuatiran dalam pengembangan Bahan Bakar Nabati yang memanfaatkan beberapa komoditi tanaman pangan seperti tebu, singkong, kedelai, jagung, dan lainlain, akan menyebabkan kenaikkan harga komoditi tersebut secara global. Sebenarnya bagi Indonesia sebagai negara agraris merupakan suatu peluang untuk mengembangkan komoditi-komoditi tersebut di seluruh wilayah Indonesia yang masih luas. Apalagi dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM dan Instruksi Presiden No 1 Tahun 2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.
Salah satu jenis bahan bakar nabati yang sudah lama dikembangkan untuk menggantikan BBM adalah bioetanol (etil alkohol) yang dibuat dari biomassa (tanaman) melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi). Ada berbagai jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku bioetanol, salah satu diantaranya yang paling potensial dikembangkan di Indonesia adalah tanaman sorgum manis (Sorgum bicolor L. Moench). Menurut Sumarno dan S. Karsono (1995), tanaman sorgum memiliki keunggulan tahan terhadap kekeringan dibanding jenis tanaman serealia lainnya. Tanaman ini mampu beradaptasi pada daerah yang luas mulai 45oLU sampai dengan 40oLS, mulai dari daerah dengan iklim tropis-kering (semi arid) sampai daerah beriklim basah. Tanaman sorgum masih dapat menghasilkan pada lahan marginal. Budidayanya mudah dengan biaya yang relatif murah, dapat ditanam monokultur maupun tumpangsari, produktifitas sangat tinggi dan dapat diratun (dapat dipanen lebih dari 1x dalam sekali tanam dengan hasil yang tidak jauh berbeda, tergantung pemeliharaan tanamannya). Selain itu tanaman sorgum lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit sehingga resiko gagal relatif kecil. Tanaman sorgum berfungsi sebagai bahan baku industri yang ragam kegunaannya besar dan merupakan komoditas ekspor dunia.

POTENSI TANAMAN SORGUM
Tanaman sorgum termasuk tanaman pangan (biji-bijian), tetapi lebih banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak (livestock fodder). Tanaman sorgum manis sering disebut sebagai bahan baku industri bersih (clean industry) karena hampir semua komponen biomasa dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri. Pemanfaatan sorgum manis secara umum diperoleh dari hasil-hasil utama (batang dan biji) serta limbah (daun) dan hasil ikutannya (ampas/bagasse) (Sumantri, A. et. al. 1996).
Bioetanol dibuat dari nira batang sorgum manis, bijinya diproses menjadi tepung untuk menggantikan tepung beras atau terigu sebagai bahan pangan. Biji sorgum juga bisa menggantikan jagung yang banyak digunakan sebagai bahan baku dalam industi pakan ternak. Daun sorgum dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak. Selain itu ternyata ampas batang sorgum (bagasse) yang telah diambil niranya dapat dimanfaatkan seratnya sebagai bahan baku pulp dalam industri kertas. Dalam hal ini pengembangan tanaman sorgum justru mendukung program pemerintah dalam rangka ketahanan pangan (program swasembada pangan) dan energi (program desa mandiri energi), selain itu juga mendukung pengembangan industri lainnya yaitu penggemukan sapi (swasembada daging) dan industri pulp (kertas). Gambar 1. Diagaram pemanfaatan biomassa sorgum manis (Schaffert, R. E. and L. M. Gourley, 1982)

TUJUAN DAN MANFAAT
Hampir sebagian besar wilayah Indonesia sesuai untuk pengembangan budidaya sorgum sehingga sangat memungkinkan dibentuknya Cluster-cluster Industri Bioetanol terpadu di daerah-daerah. Adapun tujuannya dari proposal Pengembangan Agroindustri Bioetanol Berbasis Sorgum Secara Terpadu Dan Berkelanjutan ini adalah sebagai berikut:
Memberikan alternatif atau model dalam pengembangan Bahan Bakar Nabati (khususnya bioetanol) di seluruh wilayah Indonesia;
Menyediakan sumber Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai bahan bakar alternatif khususnya untuk daerah - daerah yang sering mengalami kekurangan pasokan BBM. Bioetanol dapat dimanfaatkan untuk menggantikan bahan bakar bensin dan minyak tanah.
Optimalisasi potensi lahan marginal dan lahan di daerah beriklim tropis yang kering dengan mengembangkan kebun sorgum sebagai alternatif sumber bahan pangan, energi, dan mendukung industri lainnya; Diharapkan keberadaan proyek ini dapat memberikan manfaat yang nyata masyarakat disekitarnya, yaitu:
Menyerap tenaga kerja setempat dalam budidaya tanaman mulai dari pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan dan panen;
Meningkatkan pemasaran dan memberikan nilai tambah sorgum dan meningkatkan kesejahteraan bagi petani sorgum;
Menggerakan perekonomian lainnya yang terkait seperti: perdagangan sarana produksi, transportasi, dll.

AGROINDUSTRI BIOETANOL TERPADU
Pada proposal ini kebun sorgum dikembangkan dalam konsep Cluster Agro Industri terpadu yang berkelanjutan dengan mengkombinasikan beberapa unit bisnis yang saling mendukung. Hal didasarkan pada potensi tanaman sorgum yang hampir semua komponen biomasa dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri. Industri yang utamanya adalah industri bioetanol, dalam proposal ini kapasitas produksi yang diusulkan adalah 1,000 liter/hari atau 324.000 liter/tahun (1 bulan 27 hari kerja). Bahan baku yang digunakan adalah nira dari batang sorgum. Produktifitas ratarata batang tanaman sorgum berkisar antara 30 – 50 ton/hektar, biji 4 – 5 ton /hektar dan daun 20 – 40 ton/hektar. Sedangkan untuk pembuatan 1 liter bioetanol membutuhkan 22 – 25 kg batang sorgum (Yudiarto, M. A., 2007). Pada umur 2 – 3 bulan dilakukan pengletekan daun (defoliasi) dengan menyisakan 7 – 10 daun segar pada setiap batangnya. Panen batang dilakukan pada saat kemasakan optimal, pada umumnya terjadi pada umur 16 – 18 minggu (112 – 126 hari), sedangkan biji umumnya matang pada umur 90 – 100 hari. Oleh karena itu biji dipanen terlebih dahulu (Sumantri A., 1993). Luas kebun sorgum yang dibutuhkan untuk mendukung pasokan bahan baku secara kontinyu adalah seluas 98,8 hektar. Tanaman sorgum minimal diraton satu kali dan dalam satu tahun dapat ditanami 2 kali, sebagaimana diuraikan pada tabel 1. Keberadaan kebun sorgum tersebut selain dapat mendukung pasokkan bahan baku pabrik bioetanol yang berupa batang sorgum juga dapat mendukung industri yang lainnya. Biji sorgum yang dihasilkan diproses jadi tepung sorgum yang dapat dimanfaatkan untuk subtitusi gandum pada industri mie atau makanan lainnya. Daun dan ampas tepung sorgum yang berupa dedak atau menir dapat diolah sebagai pakan ternak untuk penggemukan sapi. Pakan ternak tersebut cukup untuk memelihara 352 ekor/4 bulan atau 1.056 ekor/tahun. Ampas batang sorgum (baggase) seratnya dapat dijadikan sebagai bahan baku pulp pada pabrik kertas. Pada proposal pengembangan agroindustri bioetanol terpadu ini dibatasi hanya 3 unit bisnis terkait yang dikaji kelayakannya, yaitu: Unit Budidaya Sorgum, Unit Pengolahan Bioetanol, dan Unit Penggemukan Sapi. Unit bisnis yang lainnya seperti Biogas, dan Industri Pupuk Organik merupakan tambahan keuntungan. Secara keseluruhan agroindustri bioetanol berbasis sorgum secara terpadu dan berkelanjutan dapat dijelaskan pada gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Skema AgroIndusti Bioetanol berbasis sorgum yang dikelola secara
terpadu dan berkelanjutan.
Seluruh proses proses produksi dan besarnya unit bisnis yang terkait dalam cluster induster tersebut ditentukan berdasarkan tahap produksi kebun sorgum. Sebagaimana diuraikan dalam tabel 2 di bawah ini.

Tabel 1. Rencana Produksi Kebun Sorgum terpadu (Bulanan)




ANALISA KELAYAKAN PROYEK
Ada beberapa analisis ekonomi yang dijadikan sebagai tolak ukur kelayakan proyek, yaitu: Revenue/Cost (R/C Ratio), Internal Rate of Return (IRR) dan Pay Back Periode (PBP). Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa usulan proyek Pengembangan Agroindustri Bioetanol Berbasis Sorgum Secara Terpadu Dan Berkelanjutan layak dilaksanakan.
Tabel 2. Ringkasan Bisnis dan Analisa Ekonomi Agroindustri Bioetanol Terpadu Berbasis
Sorgum

Tabel 3. Konsolidasi Proyeksi Arus Kas Pengembangan Agroindustri Bioetanol Berbasis
Sorgum
URAIAN TH-1 TH-2 TH-3 TH-4 TH-5

DAFTAR PUSTAKA




Schaffert, R. E. and L. M. Gourley. 1982. Sorghum as an Energy Source. Proceeding of International Symposium on Sorghum. Vol. 2. ICRISAT Centre, India. 2 – 7 November 1981.
Sumarno dan S. Karsono. 1995. Perkembangan Produksi Sorgum di Dunia dan Penggunaannya. Edisi Khusus Balitkabi No. 4-1995, p. 13 – 24. Sumantri A. 1993. Pedoman Teknis Budidaya Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Industri Gula. Kerjasama Direktorat Jenderal Perkebunan dengan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia.
Sumantri, A., Hanyokrowati, dan B. Guritno. 1996. Prospek Pengembangan Sorgum Manis untuk Menunjang Pembangunan Agroindustri di Lahan Kering. Makalah dalam Lokakarya Nasional Pertanian Lahan Kering Beberapa Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu di Kawasan Timur Indonesia. Malang, 10 – 12 Oktober 1996.
Yudiarto, M. A. 2006. Pemanfaatan Sorgum sebagai Bahan Baku Bioetanol. Makalah dalam Fokus Grup Diskusi ”Prospek Sorgum untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Energi”. MENRISTEK – BATAN. Serpong, 5 September 2006.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar